Cerpen Ketika Hujan Turun
Klik untuk memperjelas gambar |
“Berhati-hatilah jika membuat sesorang menunggu, karena terkadang menunggu itu bisa mengikis tekad, semangat, bahkan perasaan-”
Pekat tersapu bias cahaya, meski remang sinar perak sesekali mengintip di sela-sela dedaunan akarsia di depan rumah. Belum sempurna memang bentuk bulan yang tertata di sudut cakrawala yang menua, tetapi justru mampu menabur hangat di tepian hati gadis ranum kota Sutera. Jadde, gadis itu menata kenangan di hamparan teras kesayangan, menghadirkan romantis yang terlewati sore ini . . .
sebuah kisah yang masih enggan dia bagi.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, terselip memori yang sudah banyak kali terulas di kepalanya. Barangkali itu merupakan setitik istimewa yang lebih berkesan dari sepotong bulan yang tersuguhkan. Hingga beberapa saat setelah detik melayangkan pikirannya, dia tiba-tiba tersenyum. Alis matanya sedikit terangkat melihat langit di atasnya, kemudian senyumnya bibirnya melipat manis enggan berkata.
“Jadde...masuklah nak! Kamu sedang apa?” ujarnya ibu, “sejak kedatangan Alle kamu hanya terpaku disana”
Suara itu tak asing bagi Jadde. Seketika itu juga, lamunannya buyar. Ia berbalik kemudian tersenyum menyusul masuk ke dalam rumah. Tapi, langkahnya terhenti, keningnya berkerut kemudian.
“jangan kebiasaan duduk dekat pintu, anakku...” katanya lagi, kali ini tangannya mengelus kepalanya dengan lembut “pamali nak..”
“Hah? Nama itu lagi? Pamali itu lagi?”. Pikirnya
Kepalanya sedikit digelengkan tiap kali mengingat sosok pemilik surga di telapak kakinya itu biasa memberi selingan pamali di setiap nasihatnya. Namun, terdapat sebutir nama yang mengundang senyum Jadde kali ini. “Alle” sebuah sosok yang menjadi alasan Jadde tiba-tiba terpana tanpa berkutik.
Gadis itu mengurungkan niat makan malam, entah kenapa, perutnya sama sekali tidak merasakan lapar. Dia meneruskan langkahnya, masuk ke dalam markas pribadinya. Lagu sendu Setia Band dan Tulus yang setadi diputar belum juga dimatikan. Kemudian, kebetulan perasaan buncah hari ini yang begitu baik, tangannya yang kidalnya asik menulis.
Untuk 20 Januari
Kini pikiranku benar-benar terkuras oleh sebuah ironi. Perasaan yang melibatkan perasaan kedua remaja masa ini. “Cinta...” katanya dalam hati, “tadinya di mataku hanyalah hal sepele” matanya menembus lampu kemning itu, “kini ia membuatku konyol. Haruskah aku jujur? Aku keberatan!! Mengapa harus aku yang terlibat?”
Jadde menopang dagu, sesekali mengintip rembulan yang nampak dari jendela kotak-kotak miliknya. Gadis belasan tahun ini berpikir bahwa “Alle” membuatnya konyol dengan angan-angan yang kurang rasional.
Semenjak Alle, sahabat kecilnya datang ke rumahnya itu. Jadde merasa semua ini hanya selintas mimpi. Bagaimana mungkin ia bayangkan seorang pemuda blasteran Bugis-Tionghoa tiba-tiba melamarnya. “Alle” katanya, mana mungkin laki-laki yang selama ini jahil rupanya memendam perasaan padanya.
Kini ingatannya berputar ditarik oleh angin sore, perbincangan yang tak terduga itu benar-benar melekat dalam kepalanya.
“Eh Jadde...” katanya, “semakin hari kepribadianmu makin berubah yah.”
“Maksud kamu gimana?”
“Maksudku, poni kudamu sudah hilang,” ujarnya “ingat gak saat main eggrang dulu?”
“Gara-gara poni itu menutupi matamu, kamu seiring jatuh loh?”
Percakapan itu membuatnya tertawa sendiri, serupa dengan tawa lepas Alle sewaktu mengucapkan kalimat itu.
“Oh, jadi mau bilang, aku banyak gaya? Gak cocok sama poni?”
“Bukan begitu Jadde” ujar Alle menyangkal. Meskipun ia menyadari bahwa Jadde sebetulnya hanya bercanda.
Kemudian selepas senda gurau itu... Jadde benar-benar ingat bahwa Alle mencoba mengalihkan pambicaraannya.
“Jadde” kini matanya tampak begitu serius, “bagaimana jika tanpa kau duga-duga ada seseorang yang sudah cukup lama menyukaimu?”
“Yah... terang saja. Untuk saat ini, aku belum bisa menjelaskan, tapi satu hal yang pasti. Aku tidak akan menyukai seseorang manapun kecuali setelah kamu mendapat orang yang kamu idamkan sob.” Jawab Jadde dengan akrab.
“Hmm...mengapa begitu?” kata Alle dengan gugup, dan penasaran.
“Gimana yah... gini, aku pengen liat kamu bahagia dulu sob, sebelum aku menjemput kebahagiaan aku sendiri.” ujarnya sambil tersenyum merona “nanti kalau aku punya pacar duluan, bagaimana nasib kamu ya”
“kan aku satu-satunya pendengar yang baik” kata Jadde denga penuh mimik yang lucu.
“Ahaha.. kamu percaya diri setara kanker stadium lima yah”
Kemudian Alle berbisik, “bagaimana kalau yang kuceritakan tadi sebenarnya diriku? Apa kamu akan membenciku karena egoku?” Jadde benar-benar tak menyangka suara yang didengarnya itu.
“aku ingin bersamamu Jadde...”
Jadde terdiam, telunjuknya sedikit gemetaran. Matanya enggan berkedip, namun dalam dadanya pergulatan rasa kaget, bimbang, dan heran berkelebat. Sementara pikirannya, seperti sebuah mesin, yang membuat banyak pertanyaan. Tapi ah, bibirnya, menutup begitu rapat. Tak sanggup bicara.
Lain lagi dengan Alle, rautnya lega sekaligus takut bila Jadde membencinya. Ia pun, entah pandangannya, tangannya yang gemetar, atau entahlah salah tingkah saat menyadari bahwa Jadde diam tak merespon. Namun keberaniaan hari ini, yang meskipun dengan ketakutan, tak mungkin dilupakannya.
Jadde masih tak menjawab, namun kini keduanya saling menatap. Tak lama kemudian, Alle berucap lirih.
“Aku serius, kali ini aku tidak gurau, Jadde.”
Sebelum Alle pergi, ia kembali membisik di telinga Jadde, “Jika kamu ingin, aku akan temui orang tuamu di dalam detik ini juga. Tapi sudahlah, maafkan aku. Aku hanya menyukaimu, itu saja”.
“Eh..e..e..melamun lagi, bertopang dagu lagi...pamali Jadde, orang yang kurang beruntung jika begitu”. Tegas ibunya itu yang muncul dari ambang pintu kamar. Tangannya berkacak pinggang serta sesekali geleng-geleng melihat tingkah anaknya yang sejak tadi melamun.
Jadde terperanjat dan sadar bahwa dia sudah ditegur dua kali, karena pikiran yang benar-benar membuatnya kaget.
“Maaf bu...saya tidak akan seperti ini lagi.”
Ibunya berpaling, setelah mendengar perkataan anaknya. Tapi setelah itu, terdengar suara nada deringan ponsel tanda pesan masuk.Jadde pun membukanya.
Pengirim :
Al-Gazali (Alle)
Aku hanya ingin bersua tanpa pura-pura maupun drama. Dengan segenap keberanian yang meluap aku hembuskan rasa ini dengan kalimat yang sedemikian rupa agar sebisa mungkin menyentuh hati dan juga doamu. Tapi aku bisa mengerti, kekakuan seorang wanita itu lumrah saat tiba-tiba perihal masa depan tengah ditanyakan, sangat jelas terlihat dari matamu dan raut wajahmu yang datar. Terlebih saat bibirku lancang membisikmu.
Tak apa jika detik ini kepastian belum juga bisa kudapat darimu. Tapi andai kau mau sedikit lebih mengerti, maka berhati-hatilah jika membuat seseorang menunggu. Karena terkadang menunggu itu bisa mengikis tekad, semangat , bahkan perasaan.
Aku tidak menakut-nakutimu Jadde, karena aku begitu menyayangimu. Hanya saja aku berpikir betapa usilnya waktu sehingga mampu mengubahku menjadi senekat ini.
Apapun keputusanmu nantinya..aku tidak akan mengganggumu, karena itu hakmu sebagai perempuan.
Ingat!! Aku menyukaimu. Itu saja
Tempo detak jantung jadde meningkat usai membaca pesan pendek dari sosok yang dijumpainya sore tadi. Rasanya begitu tidak nyaman berada dalam posisi seperti itu, dia muak dengan ketidakterdugaan yang melibatkan dirinya. Namun yang diherankan adalah kenapa kejadian di terasnya itu justru memenjarakan dia dalam khayalan, mengapa kali ini jantungnya begitu berdebar menerima pesan yang pengirimnya tidak asing lagi baginya, mengapa harus dia yang disukai oleh Alle?
Semua pertanyaan itu membuat penglihatannya buram dan kepalanya begitu pening, dia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
***
Mentari menyapa lembut alam yang penuh dengan kisah, kicauan burung-burung pipit seolah menyampaikan sabda untuk sesegera mungkin mengawali hari dengan damai. Hari kemarin, sore kemarin, dan semalam sudah lenyap tergantikan dengan episode baru yang penuh dengan rencana, hingga bulan kembali menyapa hamparan bintang di angkasa.
Perlahan... gadis ranum yang semalam dirundung bimbang, mulai membuka matanya.
“Alle...” kata Jadde ketika melihat lelaki itu di dekatnya. Namun belum usai ia berucap, Alle tiba-tiba memotong ungkapan yang hendak diucapkan Jadde.
“Mengapa aku ada disini ? sejak kapan aku disini? Kamu tentu ingin menanyakan itu kan?” katanya sambil membuka jendela kamar Jadde.
“Iya” ucapnya lirih
“Kalau begitu dengarkan aku baik-baik, aku ada disini karena ibumu memberitahuku bahwa kamu sakit, semalam kamu tidak makan dan hanya melamun. Hmm.. aku merasa bersalah dan aku memilih tidur di depan pintu kamarmu untuk menjagamu apabila ingin sesuatu. Tapi tenang saja, aku tidak berbuat apa-apa kok kecuali menyelimutimu dan menyiapkan sarapan ini semenjak fajar, kuharap kau sudi makan meski mungkin tidak sesuai dengan seleramu.”
“Kenapa harus merasa bersalah ? dan maaf telah membuatmu repot”
“Menurutmu, apalagi yang membuatku merasa bersalah kecuali kejadian ketika aku mengungkapkan perasaanku. Kupikir kamu tidak akan peduli bahkan untuk memikirkannya sekalipun. Tapi ternyata kau terus saja mengingatnya hingga jatuh sakit seperti ini. Kumohon, jangan pikirkan itu lagi yah. Jika memang tak menginginkanku, aku bisa apa? Ditolak atau diterima sudah biasa. Aku tahu, setelah ini aku akan kecewa, tapi tetap saja pada hakikatnya sikap ego tidak akan berbuah apa-apa, dan... hei, kenapa kau tidak beranjak dan membasuh wajahmu sekarang?”
“Oh..iya, iya..” kata Jadde seketika terkejut dengan kalimat yang diucapkan Alle.
Usai membasuh wajah, gadis itu menjadi salah tingkah dan kembali berbalik melangkah ke arah sahabatnya.
“Boleh kutanyakan sesuatu?”
“Iya tentu...” jawab Alle dengan antusias.
“Bagaimana bisa kau menyukaiku?”
“Haruskah aku menjelaskannya? Hmm.. alasanku mungkin terlalu banyak hingga aku menjadi suka. Alasan utamaku adalah keadaan. Keadaan yang membawaku masuk kedalam hidupmu hingga pada suatu saat aku merasa nyaman dan tak ingin jauh dari sisimu. Mungkin aku terlalu berlebihan. Ingatkah kamu saat kau mengayuh kencang sepedamu hingga kehujanan demi untuk mengembalikan HPku yang ketinggalan? Saat itu aku sadar, aku merasa bahwa aku mulai menyukaimu.”
“Semudah itukah kamu jatuh cinta ? tapikan kita sahabatan dan . . .”
Dengan cepat Alle menjelaskan lagi. “Dan...aneh ketika aku mencintaimu? Jadde, ketahuilah aku sudah cukup lelah menyembunyikan rasa, raga dan jiwa sudah tak mampu menopang ketidakjujuranku lagi. Aku tak berdaya ketika harus berhadapan dengan kenyataan. Andai cinta mudah dihapus, maka aku pasti menghapusnya sebisaku. Tapi tidak. Hmm.. jika bagimu mencintai sahabat sendiri adalah suatu kekeliruan, maka aku akan mencoba untuk tidak berbicara cinta setelah ini. Lupakan saja, sekarang sarapanlah.”
Jadde meneteskan air mata mendengar hal itu.
“Sudah!” kata Jadde sambil memasang syalnya.
“Sudah cukup!!, maaf” Katanya tanpa menoleh ke arah Alle
Kata maaf yang terucap dari bibir Jadde, begitu menggetarkan dadanya. Meski terdengar tulus, tapi bagi Alle itu adalah suatu penolakan halus yang mesti dia terima.
“Maksudku, sudah cukup menjelaskannya, maaf aku terlalu bimbang. Bisakah kau pergi sekarang?” ujar Jadde
“Baiklah aku pergi, habiskan sarapanmu” Katanya dengan lirih tapi rautnya tetap teduh, tapi tiba-tiba sebelum ia benar-benar pergi.
“Alle... terima kasih. Kumohon, besok datanglah kembali dengan om dan tante. Kurasa aku juga menyukaimu”
“A..pa?” Kata Alle dengan wajah berseri.
“Yah...pura-pura tidak mendengar,” Kata Jadde dengan kedua pipi yang memerah.
***
Butiran warna bahagia melengkapi senja hari ini. Terulas kembali kenangan yang begitu memusnahkan selera makan gadis itu. Dan lagi ...dia membuat pena hitam itu menari dengan tangan kirinya.
Untuk 22 Januari
Entah apa yang terjadi padaku. Secepat itu cinta mengubahku menjadi cinta. Aku tak habis pikir, rupanya jodohku terletak dalam naungan persahabatan,.
Seketika Jadde tersenyum kepada mentari yang sudah nyaris tenggelam. Seolah menyampaikan ucapan selamat kepada calon pengantin wanita. Hatinya terasa hangat, matanya berbinar, dia menekuk lutut dan siap menyambut kisah baru yang tidak akan pernah usai dalam nantinya. Deringan pesan pendek dari ponsel Jadde berbunyi. Sebuah nama muncul dari layar ponsel itu membuat jemari mungil Jadde begitu antusias meraih tombol “read”, maka timbullah sederet kalimat.
Pengirim :
Al-Gazali (Alle)
“Lagi apa? Ku harap kali ini kau tidak melamun”
Jadde menyunggingkan senyum sembari membalas,
“Sedang duduk saja orang sok tahu..hm, boleh kutanya sesuatu?”
Alle :
“iyah tentu saja”
Jadde:
“Andai Saja kemarin aku menolakmu, bagaimana dengan dirimu?”
Tiba-tiba . . . “Halo!” seru Jadde seketika ponselnya berbunyi.
“Iya...ini saya” Jawab seseorang diseberang sana.
“Mengapa tidak kau jawab saja pertanyaanku lewat SMS?” protes Jadde
“Yaelah...aku menelponmu agar kamu tidak berlam-lama penasaran menunggu jawabanku. Karena kupikir, jawabanku terlalu panjang untuk ditulis, jemariku pasti letih, layar ponselku akan panas akibat tekanan dari tanganku dan tekanan dari pertanyaanmu itu heheheh” Jawabnya usil kemudian melanjutkan.
“Duhai calon kekasihku yang kepo, jujur saja jika kamu menolakku kemarin, maka rasa yang akan aku alami tak bisa kupikirkan saat ini, bahkan untuk membayangkannya saja. Aku mungkin akan teramat sangat kecewa, tapi dengan akal sehatku, aku kan tetap menerima segalanya, terlebih jika itu bisa mengukir senyum di wajahmu. Bukankah cinta adalah sumber daya diri yang dapat diperbaharui? Mungkin rumit melupakan aku pernah mencintaimu, tapi aku juga berhak menumpahkan cinta kepada insan lain jika rasaku tak terbalas, bukan ?.
Tapi syukurlah kamu menerimaku, terus terang aku tidak menyangka. Kurasa kau hanya bermimpi, berhalusinasi, dan bahkan merasa gila. Jadi tolong berteriaklah diseberang sana untuk menyadarkan sosok yang rapuh ini”
“Hah? Berteriak? Kamu yakin?”
“iyyyahhhh..cepatlah!”
Jadde menghirup udara ketika mendengar hal itu dan berteriak. “Haaaiiiiiiiiii!!!!”
Sejenak bernostalgia mengenai filosofi "jadde"😂
BalasHapusHahahh intinya bukan jadde kue dih
Hapus