Cara Menanggapi Puisi Para Politisi
Ajaibnya, puisi para politisi kita ini, punya cara sendiri dibicarakan di mana-mana. Saya tak perlu menjelaskan puisi-puisi itu. Kita pasti sering mendengarnya bukan? apalagi belakangan para politisi kita ini makin keranjingan menulis puisi. Dari cara paling sengaja untuk menyerang lawan sebagaimana [seperti] puisi “Doa yang Ditukar” Fadli Zon[k] beberapa waktu lalu; bahkan, belakangan cara ngeles pun juga dilakukan dengan dalih puisi manakala doa [plus rada maksanya] Neno Warisman sewaktu Munajat 212 tempo hari viral.
Ruang publik, utamanya netijen, tiba-tiba menjadi semacam auto-forum sastra. Di mana-mana puisi dibicarakan. Ibu di warung kelontong merasa penting menafsirkannya; pun bapak-bapak di sela-sela main caturnya. Puisi-puisi para politisi kita ini, laiknya karya maestro yang genting dan harus segera ditafsiri. Kemudian diambil nilai-nilai subtil di dalamnya.
Kita semua tahu. Puisi Fadli Zon[k] kini boleh jadi lebih moncer melampaui puisi legendarisnya “Aku” Chairil Anwar, satu dari sedikit puisi yang selalu hijrah dari buku satu ke buku pelajaran bangku sekolahan. Di sini, lalu terbesit pertanyaan menggelitik, sejak kapan bangsa kita ini kepo dengan yang begituan?
Ya, saya katakan yang begituan, bukan berarti tak menghargai puisi loh ya. Tapi, mari kita refleksi lagi. Mulai kapan sih bangsa kita ini dibuat gaduh oleh puisi? Sejak kapan bangsa kita begitu peduli bahkan ekses terhadap perihal sastra?
Mari kita bayangkan. Pada suatu senja [iya, senja yang sering dipakai dalam puisi-puisi itu loh], sepasang kekasih meributkan maksud Hujan Bulan Juni-nya Sapardi. Yang satu bilang, itu puisi ngaco, masak sih ada hujan di bulan juni; sementara kekasihnya yang jurusan sastra bilang, itu justru bentuk estetik luar biasa, tak bisa dong diartikan letterlek kayak begitu. Singkat cerita, pasangan ini kemudian putus.
Mari kita berpikir saudara-saudara sekalian, rasionalkah drama macam itu di negeri kita tercinta ini? adakah kisah percintaan segetir itu, sepasang kekasih rela putus cinta hanya karena tak sepaham dalam memaknai puisi. impossible man!
Sebagai bekas mahasiswa sastra, awalnya fenomena ini membuat saya merasa begitu terharu. Bagaimana tidak kan ya, kini orang-orang makin tertarik dengan sastra. Dari ramainya “Ghost Fleet” sampai “Kitab suci fiksi”. Padahal loh ya, tau sendiri kan bagaimana nasib jurusan saya ini? anda bisa googling sendiri, cukup memalukan pemirsa!
Tapi, para politisi kita ini, dengan begitu baik, membuat harapan saya yang sempat redup itu kembali bersinar cerah. Bisa loh sastra dibincangkan khalayak luas laiknya gosip sensasional artis-artis sinetron tipi itu. Menakjubkan bukan?
Di sisi lain, dengan hormat saya juga perlu menaruh simpati dengan semua dosen saya dulu. Bagaimana mungkin, beliau yang kuliah bertahun-tahun hingga berlapis “S” itu, yang selalu mendorong untuk ngedukasi sastra di mana-mana, kalah telak dengan peran para politisi kita ini. Apalagi boleh jadi, mereka tak pernah tuntas membaca judul puisi-puisi WS Rendra, atau sekedar nimbrung ngabiskan kacang rebus dan ketela waktu perhelatan diskusi-diskusi sastra yang nyaris selalu serba seadanya itu.
Tapi, keterharuan saya itu, kemudian segera mencekik saya. Mari kita pakai “akal sehat”. Lah, bagaimana bisa yang begitu itu disebut puisi, lalu dibicarakan dan jadi tranding topik. Bahkan, bisa membuat gaduh kemudian menyulut kemarahan dalam skala nasional.
Ini benar-benar penistaan bagi dunia sastra pemirsa. Ini puisi loh, bukan orasi. Bukan puisi pamfletnya Wiji Thukul yang bilang, “maka hanya satu kata: lawan!”. Bukan, bukan, ini cuma ‘seperti’ puisi Fadli Zon[k] itu; atau Neno Warisman. Puisi yang tak pernah menanggung apa-apa pemirsa, kecuali yang itu, sudah lah, anda pasti paham bukan maksut saya?
Tentu saja, saya tidak ingin menghianati judul tulisan ini. Saya akan coba sedikit lebih bijak laiknya filsuf guna merumuskan argumen ini. Apalagi argumen saya ini, harus saya akui tak akan anda dapatkan dalam buku mainstream mahasiswa sastra semisal tulisan A Teeuw atau Wellek; juga tak mungkin didapat dari buku Politik Sastra-nya Saut.
Tahukah anda, cukup sederhana rupanya menanggapi puisi para politisi kita ini. Ya, anda tahu. Biarkan saja pemirsa, jangan hiraukan! Biarkan! Titik! Hanya itu, sesederhana itu. Bagaimana? Anda bisa memahami bukan?
Tentu ini tidak bermaksut mendikte [meskipun kalau bisa saya ingin dan harus melakukan itu]. Memang benar adanya, bahwa puisi para politisi itu lebih baik dibiarkan begitu saja. Jangan pernah dibicarakan lagi. Maksiat! Cukup ini saja pemirsa, cukup ini saja. Biarkan tulisan ini, menjadi tulisan paling hina terakhir di dunia ini yang mengulas fenomena ini.
Hanya itu saja, satu-satunya cara menanggapi puisi para politisi itu. Jika tidak, anda tahu bukan konsekuensinya. Ya, pikiran waras kita pemirsa. Inilah yang benar-benar jadi taruhannya kita.
Akhirnya, menutup tulisan ini. Rasa-rasanya, kita semua sudah tahu, bahwa di jaman di mana Fadli Zon[k] asyik menulis puisi. Petuah John F. Kennedy ini “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya” harus benar-benar kita pikirkan kembali. Masih menggunakan ‘akal sehat’ bukan? []
Posting Komentar untuk "Cara Menanggapi Puisi Para Politisi"