U2FsdGVkX1+25AyyCo8UPsLK1A8YBpiAtAtE4voJoZU6v2phc92s7B5BeG4irtrTwvQijqbnotwWq2TT6FmYzQ==
Kepada yang tersembunyi dan yang pantang terucap

Semua kata diangkat dan berangkat untuk menyeberangkan maksud. Tapi  cara orang tua kami membesarkan anak-anaknya dengan nilai dan pesan moral pelan-pelan menguak, bahwa tidak semua maksud dapat disampaikan dengan satu-dua kosa kata yang pasti.

Sejak kecil sampai sekarang, saya merasa bahwa kenakalan itu asik. Kenakalan dan kesalahan selalu menjadi bawaan yang mendekatkan kita dengan orang tua dan kata-kata pesan. Dengan nakal dan bersalah, dengan itu juga orang tua banyak memberikan nasihat-nasihat. Nasihat yang terkadang diwarnai dengan pertanyaan, peribahasa, hal-hal mustahil, pamali (pantangan), serta ketakutan-ketakutan yang diciptakan melalui lisan.

Menariknya, orang tua saya selalu meminimalisir kata ‘jangan’ saat menegur. Mereka cenderung menggunakan perkataan yang memiliki daya untuk dipikirkan, direnungi atau dipertanyakan. Seperti ketika petang dan Ibu mendapati saya tak kunjung meninggalkan permainan di bawah kolong rumah, maka beliau akan mengatakan:

“Cafako engka matu talimpau” (awas kau, nanti ada wewe gombel!) daripada mengatakan “jangan main lagi”

Kata-kata seperti itu menimbulkan ketakutan bagi anak-anak, sebab ‘talimpau’ dalam pikiran saya saat itu adalah hantu yang senang menyembunyikan kita, memisahkan anak dari orang tuanya, memberi kita makanan seperti tai, dan menjadikan kita anak yang buruk rupa ketika dipulangkan. Sehingga, hal tersebut membuat saya ngeri lalu segera pulang. Begitupun dengan anak-anak yang lain.

Selain pernyataan, terkadang orang tua juga memberi nasihat atau teguran yang kesannya bertanya, seperti ketika seorang anak keras kepala atau meraung karena menginginkan sesuatu yang sulit didapatkan, maka orang tuanya akan bertanya, “Makessinggah muengkalinga narekko keraq mabbettang langi’ tauwe?De’ ga mumasiri?” (baikkah di pendengaranmu jika seseorang meraung-raung seperti itu?, apa kau tidak malu?)

Nah, kedua contoh teguran di atas memiliki objek yang jelas sehingga hal yang disampaikan dalam pesan itu dapat dipahami dan menimbulkan reaksi. Tapi apa jadinya bila pesan itu yang disampaikan  mengandung objek yang menimbulkan banyak kemungkinan, rujukan, dan paham--yang maksudnya tergantung dari gambaran seperti apa yang ada di kepala? Beberapa kata multitafsir yang cukup menganggu saya ketika mendengarkan cerita, teguran, atau nasihat orang tua adalah kata Anu, Yanu, La Salama, dan La Maraufe.

Anu
“Apa yang kau pikirkan tentang Anu?”
Saya perlu menanyakan ini kepada orang lain, termasuk kamu. Karena saya yakin, bahwa kata ini umumnya pernah digunakan oleh siapa saja. Kata anu tercatat dalam KBBI V dengan definisi: yang tidak disebutkan namanya (orang, benda, dan sebagainya) atau (untuk menyebutkan) sesuatu yang namanya terlupa atau tidak diketahui.
Jadi, konsep kata anu bisa dikatakan mewakili keraguan, ketidaktahuan, dan sesuatu yang membuat seseorang tidak menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan. Barangkali arti kata anu yang paling banyak diserap orang adalah hal-hal yang jorok dan cabul. Padahal, di luar itu, apalagi jika kita kembali menelisik pesan-pesan dan cerita rakyat, anu merujuk kepada banyak hal. Misalnya ketika sekelompok orang dalam sebuah acara atau hajatan,  terlibat dalam suatu perbincangan masalah orang lain, maka seringkali orang tua kita mengganti rujukan dengan kata anu.

“Oo.. na Anunna memeng yero, jaji sitinaja narekko macai i"
Oo..itukan memang miliknya, jadi wajar saja kalau ia marah

Nah, di sini kerap kali ada orang yang seringkali menjadi penutur ulang atau yang menceritakan kembali isu yang dibicarakan kepada teman-teman atau kerabat di tempat yang berbeda. Sehingga kata anu yang tadi menjadi lebih terperinci. Anu dalam hal ini bisa jadi warisan, rumah, tanah, hak, dan lain-lain.

Selain digunakan untuk menyampaikan sesuatu agar terkesan sopan, kata anu dalam percakapan masyarakat rupanya memberi kita kebebasan sekaligus batasan untuk memaknai penyataan orang lain. Penggunaan kata anu, memungkinkan seseorang tidak membesar-besarkan perkara yang tidak perlu dibicarakan. Penggunaan kata anu digunakan untuk mengurangi peniruan kata-kata buruk bagi anak, seperti alat kelamin dan perbuatan cabul sehingga hal buruk itu tidak diadopsi dan tidak diungkit ketika marah, mengumpat, atau terlalu senang.

Lain lagi jika kita mengunjungi tempat-tempat tertentu atau area yang dianggap keramat. Terkadang orang tua  memberi peringatan untuk tetap waspada karena di sana ada ‘anu’.

Anu dalam konteks ini bisa jadi merujuk pada sesuatu yang bahaya, tak kasat mata, namun pantang diucapkan. Hal ini saya peroleh dari kebiasaan ayah ketika saya kerap menemaninya di sekitar danau untuk menangkap ikan. Saya senang berenang, tapi danau bukan tempat yang tepat untuk bocah, jadi cara jitu untuk melarang adalah dengan memperlihatkan saya bendera-bendera—merah dan kuning (ini juga misteri) di sekitar rawa sambil mengatakan bahwa di sana ada anu yang tertidur. Seringkali saya kesal dengan kata-kata anu. Saya jadi tak bisa memastikan sampai sekarang, di sana ada siluman, buaya, atau jin?

Yanu
Sama halnya dengan istilah anu, seringkali kata ‘yanu’ juga bertalian dengan embolalia (baca: bentuk tegun). Perbedaanya, jika kata anu merujuk pada benda, maka kata yanu merujuk kepada orang atau perbuatan yang sangat mungkin dirahasiakan. Dalam bahasa Bugis, istilah ‘yanu’ pun seringkali dikaitkan dengan seseorang yang tiba-tiba dilupakan namanya. Contohnya:

Akkalitutuki maccule ri bola na yanu
Hati-hatilah bermain di rumanya si Itu

Pesan itu mengajarkan anak untuk menjaga sikap di rumah orang lain. Terkadang orang tua menggunakan kata yanu daripada menyebutkan nama pemilik rumah secara langsung. Hal ini bertujuan, agar anak bersikap sopan di rumah siapa saja. Dengan tidak fokus pada nama siapapun yang dimaksudkan, memungkinkan anak tidak berbuat onar di rumah siapa pun atau merusak barang orang lain.

Selain pelaku, istilah yanu juga menunjukkan perbuatan atau kegiatan. Biasanya mengarah ke ranah budaya (sunat, menikah, akikah) atau  hal-hal yang berkonotasi negatif (tampar, labrak, diancam).

Contoh :
De’ga muingngerangi I Siti wettunna yanu nasaba de naengkalinga adakku?
Apa kau tak mengingat Si Siti saat di(labrak) karena tidak mendengarkan kataku?

La Salama dan La Maraufe (La Marupe)

Ketika dua istilah ini digunakan, cenderung yang ditimbulkan adalah rasa yakin dan takut.  Ya..terkadang orang merasa takut karena yakin bahwa hal menakutkan (yang dimaksud) itu ada. Objek yang saya pahami dari istilah ini adalah bencana, hal-hal sensitif dan gaib. Dulu, saat cerita-cerita legenda masih dituturkan, orang tua kami (baca: nenek) menggunakan kata La Salama untuk menyebutkan kehadiran makhluk halus, petta (manusia setengah dewa), malaikat maut, siluman, badai, banjir besar, dan hal-hal yang menakutkan lainnya. Sehingga saya sering bertanya, mengapa semua itu disebut dengan La Salama (yang selamat) jika masing-masing memiliki kesan yang keramat dan berbahaya?

Sama halnya La Marupe yang diartikan sebagai sosok atau kondisi tertentu yang diyakini keberadaannnya, meski tak terjangkau pancaindra namun memiliki pengaruh dengan hajat hidup. Bahkan ada yang mengait-ngaitkan dengan kutukan.

Kisah-kisah dan pantangan tak jauh-jauh dari kedua istilah ini. Pelarangan untuk menyebutkan kata buaya ketika berada di sekitar sungai, maksudnya sama ketika kita dilarang untuk menyebutkan apa yang kita yakini ada, namun belum tentu diyakini oleh orang lain.

Anu, Yanu, La Salama dan La Maraupe pada dasarnya sama, tidak menyebutkan sesuatu yang sebenarnya dengan jelas. Sebab orang tua memahami, kepala anak tidak semestinya mengetahui banyak hal yang belum tentu dapat dimengerti. Tapi disaat yang sama, anak-anak mendapati diri mereka yang ingin tahu banyak hal. Sehingga, pesan maupun perkataan orang dewasa—kepada anak-anak bukan hanya membentuk jalan tapi juga masalah. Masalah yang belum sepenuhnya teratasi meski kepala selalu berada di atas.

Saya jadi ingin bertanya lagi, ketika saya mengatakan ‘anu’ apa yang telintas di benakmu? 

Ketika saya mengatakan ‘yanu’ siapa saja yang ada di pikiranmu? 

Ketika saya mengatakan ‘La Salama’ atau ‘La Marupe’ gambaran apa yang ada di kepalamu? Manusia setengah dewa? Hantu? atau sepasang bola mata ketakutan?


Ana
Nama saya Muliana. Lahir 27 januari 2002. Saya Pemalas. Tapi saya sampai disini. Ig : @gemaa.27
Loading...