Puisi Yang Kami Dengarkan Saat Pukul Tiga

puisi jam dinding

Radio-radio lebih hidup dan penuh lagu

Dentang denting alat makan melukis rezeki

Lesung alu berubah jadi ayat pencincang

Sayup tawa kemenangan  di sebuah pos-

telanjur habis dipendam balak.


Sepasang mata berteriak

Memecah kening keheningannya,

Derap kaki-kaki 

Menunjuk ketenggelamannya,

Tabuhan alat menyentak subuh

Dari yang gula sampai yang gila,


Ada Juga suara anak-anak...


Anak-anak yang belajar sahur 

Anak-anak yang berebut lauk

Anak-anak yang bertahan tidur

Anak-anak yang berdoa

Anak-anak yang beranjak pergi.


*

Pekat menyentuh ubunku

Lebih cepat dari burung hantu.

Kemuncak pekiknya 

Seakan mengutas deham tenggorokan


Fajar menyamarkan sabda

Ujung kukuku lepuh menekan kata

Kota kecil lelap sejam di kamar

bersama perempuan tirus yang meraung semalaman


Aku bertanya,

‘Apa warna merdeka hari ini?’

Ada yang menjawab:

‘Warna ungu, warna ungu’


Lebam-lebam terlalu banyak menjelaskan-

Keluh-keluh 

Air mata terlalu renik

Bagi maut yang bekerja seperti pencopet


Aku bertanya,

 ‘Apa warna kota kita esok pagi?’

ada yang menjawab,

‘Warna merah’



Warna darah menjelma bibir

Menjelma air sirup

Menjelma hati yang saling menjegal

Menjelma kepala yang kita angkut.



Pada pukul tiga

Radio menyusut jadi genangan

Yang tak mungkin dihalau.

Sebab

Kemarin, ada lima puluh tiga jiwa

Dipilih laut dan abadi.


Belasungkawa menghujan

Dalam kotak itu,

Dua penyiar menekuk jantung penyair ke dadanya.

Memanjat panggilan salam

Memutar permintaan lagu

Sampai pucat, pecah.


Betapa

Apa yang kami dengarkan pada pukul tiga

Kadang tetap memukul bak algojo

Mengadu senja-senja...

Mengubah buka puasa

Menjadi duka puasa.


Sengkang, 02 Mei 2021

Ana
Ana Nama saya Muliana. Lahir 27 januari 2002. Saya Pemalas. Tapi saya sampai disini. Ig : @gemaa.27

Posting Komentar untuk "Puisi Yang Kami Dengarkan Saat Pukul Tiga"