Antara Puisi Chairil, Tren LDR-AN, dan ATTASSINGENG

....
Ini kali tidak ada yang mencari cinta. 
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita 
Tiang serta temali
Kapal, perahu tiada berlaut.

.... 
            Pada tahun 1946, Chairil Anwar menulis puisi bertajuk Senja di Pelabuhan Kecil  buat Sri Ayati.  Adapun penggalan puisi tersebut seolah memulangkan kita pada satu renungan. Apa yang akan kau lakukan  saat dunia menjadi seperti itu? Tidakkah kau merasa bahwa akan  ada kemuraman setelahnya?

            Oh tidak! saya sedang tidak ingin membicarakan sesuatu yang melankoli. Saya hanya ingin mengatakan bahwa:  puisi ini seolah menggarisbawahi waktu-waktu yang saat ini kita lipat dalam ketidaknyaman, ketidakbiasaan, dan ketidaktahuan.

            Kau berhak setuju dan tidak setuju dengan apa yang saya rasakan. Kau pun berhak untuk berhenti di sini atau melanjutkan bacaan yang lebih berbobot dari apa yang saya tulis. Tulisan adalah sesuatu yang mencuri dan mengembalikan kau dalam satu situasi. Kau tak perlu merasa bersalah karena hal itu.

            Jika kau memilih untuk tetap melanjutkan, maka baiklah. Apapun ideologimu, mari tetap letakkan pada tempatnya.

            Kembali pada puisi Chairil. Saya merasa, keterasingan Chairil terhadap Sri dalam puisi dengan keterasingan kita terhadap dunia tak jauh beda jika dilukiskan. Mengingat betapa empati semakin hari terbunuh dan tempat-tempat seperti bangunan dan pelabuhan sempat ditutup. Kenyataan menunjukkan hikmah dan lemahnya sebuah hidup yang serba tata cara dan dibatasi. Manusia sebagai makhluk multi-rasa dan prasangka pun menjadi terbelah-belah. Berkubu-kubu. Dikotak-kotakkan oleh pengaruh. Kecerdasan dan kebodohan menjadi abu-abu ketika tiba di hadapan diri yang malas menyeleksi. Padahal untuk sampai pada kebenaran, manusia punya banyak pilihan. Namun tetap saja pintu keluar yang paling sering mereka pijak adalah pintu dengan nuansa ‘salah pilih’. Pada akhirnya, kebenaran dan kesalahan yang harus disadari sebagai penghabisan adalah karena kita hanya manusia.

            Kamerad, sejarah membuktikan bahwa manusia selalu berada di tengah-tengah dimensi. Mereka sebenarnya tak pernah tepat perihal awal dan akhir dari apa yang terjadi. Pada lima detik saat mereka lahir dan lima detik sebelum ajal memisahkan tubuh dan jiwa, manusia tak akan pernah tahu. Detik kelahiran dan kematian itu ibarat tangkai cabai yang tak perlu pertimbangan untuk disingkirkan. Hal tersebut tentu akan disangkal oleh orang-orang penting yang kadang riwayat hidupnya didokumentasikan. Tapi tetap saja mengetahui seluruh bukan perkara yang semestinya dipecahkan manusia, bukan?  Baik kau ataupun saya, kita hanya diberi wewenang untuk berpikir.  Maka cukuplah tahu apa yang kau tahu dan tak tahu apa yang memang tak bisa kau pahami.
Baca Juga :  Literasi Al-qur'an Untuk Remaja  
            Seperti masa ini, ketika LDR tak lagi berpihak pada mereka yang terpisah jauh dengan orang yang terkasih. LDR kini menyentuh setiap orang, setiap tempat, dan setiap profesi. Ia dengan cepat mengglobal dan menjadi Tren setelah pandemi corona dibebaskan dari isu telur ajaib. Mari membawa LDR ke dalam pengertian yang selama ini diajarkan media saja sebagai perilaku yang menjaga jarak atau pembatasan sosial. Mahasiswa yang mengalami ‘LDR’ dengan dosen jelas menggunakan sistem daring agar tetap bisa melanjutkan mata kuliah. Dalam keadaan yang normal, hal ini tentu kadang dilakukan jika dosen berada di luar kota atau tak sempat datang ke kampus. Akan tetapi rasanya berbeda, ketika diterapkan berdampingan dengan kegiatan lainnya seperti seminar, belanja, persentasi, dan masih banyak lagi.

            Sebagai mahasiswa, saya berkesimpulan bahwa kasus LDR-an dalam belajar tak semanis LDR-an dalam asmara.  Saya akan memberimu dua alasan. Pertama, LDR-an dengan kekasih mungkin akan melahirkan rindu yang beranak pinak di dadamu yang lapang tapi LDR-an dengan dosen dan teman-teman sekelas terkadang melahirkan sendu yang terpendam. Apalagi jika jaringan tidak begitu baik untuk menghubungkan kita semua dan waktu tak pernah kompromi untuk memperpanjang kuota secara cuma-cuma.

            Kedua, jika LDR-an dalam asmara melibatkan kesempurnaan cinta, maka LDR-an dalam belajar,  menjadikan layanan internet dan aplikasi  menuntut balik kesempurnaan perangkat. Hape maupun laptop yang kamera dan fiturnya memang terganggu, kerap kali disudutkan. Sebagai mahasiswa dengan menggunakan perangkat yang seadanya, saya tentu gemas dan geram. Keadaan ini membuat saya mati gaya dengan meminjam apa-apa demi keberlangsungan belajar hingga ujian akhir semester. Lalu setelah semua tugas selesai, saya merasa cukup merdeka.

cerpen ldr

            Seminggu setelah ujian akhir semester, saya mendengarkan adik saya yang masih  SD membacakan puisi ini saat mengerjakan tugas Bahasa Indonesia dari gurunya. Ketika selesai membaca penggalan puisi (yang sebelumnya saya kutip di awal) itu,  saya merasa terharu sekaligus diejek. Tepat ketika ia mulai mengucapkan “....ini kali tidak ada yang mencari cinta..”  hingga pada bagian “...kapal perahu tiada berlaut..” yang mulai mengungkapkan gambaran pelabuhan, saya pun menyadari bahwa di kampung kami tidak ada laut, pelabuhan, dan kapal. Adanya hanya danau, perahu dan Attassingeng sebagai tempat persinggahan (seperti halte) berbentuk rakit untuk menunggu jasa ojek perahu/ perahu taksi.

            Bagi saya, eksistensi Attassingeng di tengah wabah COVID-19 dan pembatasan sosial menjadi sesuatu yang bisa dikatakan ada dan tiada. Ia tak menjadi Attassingeng sebagaimana mestinya. Ia tak lagi menjadi pangkalan bagi perahu-perahu bermesin dan berpelampung. Tapi menjadi tempat cuci, tempat berak,  bahkan terkadang masih digunakan sebagai tempat pembuangan sampah oleh masyarakat di sekitar danau. Meski pemerintah dengan besar hati telah menyediakan gerobak sampah dan bantuan kloset, hal itu tak cukup membuka hati orang-orang untuk menjaga kebersihan secara universal. Keadaan tersebut jauh lebih buruk ketimbang menggunakan Attassingeng sebagai tempat selfi, bukan? sebagaimana yang pernah saya lakukan menggunakan efek kamera B612 ketika Attassingeng masih menjadi primadona untuk menjomblo hingga mendua.

            Potret keberadaaan yang ‘agaknya’ dialihfungsikan ini, jelas mengungkapkan bahwa meski di kampung kami penduduknya tak satu pun terpapar virus, tetap saja seseorang dengan orang yang lain saling mewaspadai. Seseorang  akan berpikir dua kali menumpangi perahu orang asing meskipun orang itu adalah ojek perahu yang berpengalaman dan sekampungnya. Bahkan jika orang itu mengatakan padamu bahwa ia sehat atau menunjukkan cairan antiseptik  dan masker yang disediakan untuk penumpang. Keraguan dan kecurigaanmu sulit digoyahkan. Hal ini akan terjadi jika kau terlanjur patuh dan terpengaruh pada rentan penyebaran virus dicampur hoaks secukupnya.

            Lain lagi, jika kau terlanjur mampus dikoyak-koyak masa bodoh dan masa karantina. Kau akan berpikir untuk mengiyakan siapa saja yang mengajakmu berperahu dari Attassingeng ke Rumah Terapung.  Atau dari Attassingeng berkeliling ke pemukiman warga, sambil mengagumi cara air menyuntikkan untung rugi kepada alam. Orang dewasa menyebut ini banjir tapi orang narsis dan anak-anak menyebutnya dengan permandian gratis. Para nelayan menyebut ini Dalleq (rezeki) tapi para kapitalis menyebut ini sebagai Abala (malapetaka).

            Menurut ibu saya, di tengah kondisi begini selain menjaga kesehatan, penting bagi kami untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga. Hal tersebut dikarenakan kualitas dan kuantitas informasi yang diperoleh akan ditentukan oleh seberapa baik  hubungan dengan tetangga. Beberapa orang tua kami masih gaptek tapi dengan kekuatan gosip yang cukup, maka isu terkini akan mereka dapatkan meski dari mulut ke mulut berlatar teras rumah. Termasuk pertanggalan air akan pasang dan surut. Anggota parlemen siapa yang akan berkunjung, atau bantuan apa dan dari siapa yang akan datang. Nah!

            Terlepas dari puisi Chairil yang kuat sebagai perenungan. Saya ingin mengatakan satu hal lagi kepada orang-orang, termasuk kau bahwa: untuk tetap bahagia menikmati puisi, LDR-an dan Attassingeng (itupun jika masih ingin) di masa ini, silahkan berpikir selagi pikiran tak dibatasi dan masih sah milikmu. Dengan berpikir, seseorang akan menyelamatkan kata-kata yang bisa menyakiti orang. Dengan berpikir, seseorang tak akan gila di tengah tren-nya LDR di semua kalangan dan situasi. Dengan berpikir, seseorang mungkin tak lagi berak dan buang sampah di sejumlah  Attassingeng yang ada di Danau Tempe.

            Berpikirlah Kamerad, tanpa memaksakan keluar rumah untuk melihat situasi kampung saya. Kau bisa melihatnya lebih dekat di internet meskipun kau berada di tempat yang jauh. Disaat LDR mengglobal seperti sekarang, bukankah hidup telah mengajarimu cara optimis menghadapi batas? Ya, Jauh di mata dekat di hape. Yuhuuu!

Wajo, Juni 2020
Ana
Ana Nama saya Muliana. Lahir 27 januari 2002. Saya Pemalas. Tapi saya sampai disini. Ig : @gemaa.27

Posting Komentar untuk "Antara Puisi Chairil, Tren LDR-AN, dan ATTASSINGENG"