Apakah "Vanaja" lebih malang atau lebih beruntung dari saya?

Sepekan yang lalu, saya memang gagal dalam usaha mengubah tujuh hari menjadi delapan dengan menonton. Apalagi, saya adalah penonton yang terlambat,  karena semua film yang saya lihat sudah lama dibuat dan telah ditonton jutaan orang sebelumnya. Saya menyesalkan hal tersebut, tapi untuk hal yang lain setidaknya, usaha itu membuat saya mendapatkan sedikit pintu --menuju cara membaca perasaan lain dengan tontonan. Saya memulainya dengan menonton film yang bertajuk Ketika Tuhan Jatuh Cinta, lalu di hari berikutnya film Badik Titipan Ayah,  lalu besoknya The Farm, kemudian filmnya Baran, The Outcast, Vanaja dan film yang terakhir berjudul Perfume.
Jujur saja film-film itu membuat saya cenderung marah dan mudah terganggu, bahkan untuk suara-suara kucing atau anjing milik tetangga nenek. Saya muak, karena dalam situasi menonton, kadang hal seperti itu meninju konsentrasi.
Tapi saya tidak akan menuliskan itu semuanya. Saya akan berangkat dari drama musikal Vanaja saja. Sebuah film yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Rajnesh Domalpalli dan mulai tayang pada tahun 2006. Sebelumnya,  saya perlu berterima kasih kepada Mamatha Bukhya, Sang Sutradara Rajnesh Domalpalli atau kepada siapapun yang mencantumkan takarir Bahasa Indonesia ke dalam film ini.
Saya juga perlu berterima kasih kepada Ibu saya tercinta, Rahmatiah,  sebagai teman menonton sekaligus teman diskusi film India semenjak Mahabharata, Uttaran dan film india lainnya bersahutan menjadi topik.
Kembali ke Vanaja, pertama kali menontonnya, film ini mampu menarik saya pada kenyataan demi kenyataan,  kemungkinan demi kemungkinan, hingga timbul sebuah pertanyaan untuk diri  sendiri : Apakah "Vanaja" lebih malang atau lebih beruntung dari saya?


Saya resah,  maka saya menuliskan tentang itu hari ini.

Sosok Vanaja

Vanaja dikisahkan sebagai anak perempuan yang berusia lima belas tahun dari sebuah desa yang penduduknya menyegani seorang pemilik tanah bernama Rama Devi. Sebagai putri seorang nelayan, ia mengalami kesulitan saat bersekolah. Apalagi ayahnya juga pecandu minuman keras yang sering sakit-sakitan. Hingga akhirnya ia tidak melanjutkan pendidikan dan memilih bekerja di rumah Rama Devi. Padahal ia fasih berbahasa inggris, serta memiliki cukup keterampilan dalam menari.
Hal yang pertama membuat saya menangis adalah sebuah kenyataan bahwa dalam satu hal saya memiliki kesamaan dengan sosoknya,  namun dalam hal lain,  sosok yang usianya baru lima belas tahun sudah mampu mandiri dan memiliki kesadaran untuk membantu orang tuanya. Kendati ia harus mengorbankan sekolahnya untuk itu. Sementara saya merasa masih belum sanggup, padahal usia  saya sudah delapan belas tahun.

Pelecehan, Hinaan, dan Umpatan

Sejak menit pertama, film ini sudah menunjukkan bahwa pelecehan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tak bisa dipungkiri, anak-anak bisa saja menjadi korban atau pelaku. Seolah-olah pelecehan sudah menjadi bagian dari kewajaran seperti halnya melontarkan kalimat ejekan kepada orang lain.
Di awal kisah, seorang anak mau saja disuruh menarik kain penutup tubuh seorang anak perempuan. Padahal di sana ada banyak penonton/orang dewasa tapi seolah tak mengindahkan apa yang terjadi. Mereka terlalu fokus pada kedatangan Sang Pemilik Tanah dan  pertunjukan yang akan segera berlangsung.
Itu hanya salah satu contoh.
Selanjutnya, hinaan. Tokoh utama tak hanya sekali diungkit kastanya, warna kulit, hingga latar belakang keluarganya. Tapi karena harapan untuk belajar musik dan tarian Kuchipudi di rumah Sang Pemilik Tanah, ia hanya diam dan tak bisa berbuat banyak. Bahkan saat tokoh Sekhar 'merusaknya' dan enggan menikahinya sehingga ia disebut jalang oleh orang-orang.
Rasanya tidak mungkin. Saya tidak bisa mengingkari, bahwa ini hanya sebuah film yang diangkat dari tesis seseorang. Tapi di sisi lain, saya juga tak bisa menjamin bahwa di luar sana anak yang mengalami hal yang sama dengan Vanaja tidak ada. Apalagi, kejahatan pedofilia juga sering diberitakan di media massa.


Film ini menyiratkan kesenjangan, bahwa orang yang tidak memiliki kekuasaan sulit melawan orang yang berkuasa. Kaum kapitalis mudah mempekerjakan atau menyingkirkan orang lain hanya dengan jari telunjuk.
Tapi lagi-lagi saya mengembalikan itu kepada diri saya, dengan orang tua yang lengkap, sekolah yang tetap dilanjutkan, kebutuhan yang cukup terpenuhi, orang-orang yang tidak begitu otoriter di sekitar, apakah cukup membakar saya untuk bercita-cita tanpa membuang-buang waktu?
Vanaja bahagia, ketika Sang pemilik tanah mau mengajarinya seni. Sementara saya seringkali kesal kepada orang-orang yang bermaksud mengajari (tapi saya tak menyenanginya.

Menjadi Ibu

Sejak kecil, Ibu tokoh utama sudah wafat. Sehingga saya mengamati Vanaja, telah menunjukkan bahwa ia telah menjadi Ibu untuk ayahnya dengan tetap merawat, untuk dirinya sendiri dengan tetap tegar pada apapun,  dan menjadi ibu untuk anaknya dengan menolak pembunuhan, meskipun Lacchi--sahabatnya terus membicarakan aborsi.


Untuk beberapa hal terakhir ini,  saya menganggap sosok Vanaja lebih hebat,  lebih beruntung daripada siapapun karena memiliki keteguhan hati meskipun usianya masih belia.
Saya menyukai film ini, sungguh! Ada potret budaya, keluarga, politik hingga kehidupan sosial yang nyaris tidak kita sadari. Karakter yang dimasukkan ke dalam film ini seolah-olah mewakili suara banyak anak perempuan dan kalangan bawah.
Tapi untuk berhenti membanding-bandingkan, saya dan Vanaja-vanaja yang lain mungkin juga beruntung karena terlahir dari keluarga sederhana. Miskin tapi tak bunuh diri (paling tidak kita masih hidup), waras dan bisa membaca.
Apakah "Vanaja" lebih malang atau lebih beruntung dari saya? Itu mungkin adalah kalimat introspeksi yang baik,  tapi cukup keliru sebagai pertanyaan sebenarnya.



Ana
Ana Nama saya Muliana. Lahir 27 januari 2002. Saya Pemalas. Tapi saya sampai disini. Ig : @gemaa.27

Posting Komentar untuk "Apakah "Vanaja" lebih malang atau lebih beruntung dari saya? "