Berdamai Dengan COVID-19 Tapi Berselingkuh di Belakangnya
Kise Poochun, Hai Aisa Kyun?
Terus terang, saya harus membuka KBBI untuk memperoleh batasan makna dari kata selingkuh yang selama ini saya mamah dari sinetron dan buku cinta. Entah mengapa, orang tua kami mengajarkan kata ini begitu pantang diucapkan untuk warga negara seusia saya (jika benar sekarang saya masih di bawah umur). Dengan konsep yang sama, teman-teman saya kadang mengganti kata itu dengan kata ‘mendua’ , udang di balik batu, hingga kata-kata satir lainnya. Barangkali istilah ini, telanjur dibawa zaman perbucinan sehingga kata selingkuh cenderung merujuk pada pengkhianatan seseorang pada pasangannya.
Baca Juga: Antara Puisi Chairil, Tren LDR dan ATTASINGENG
Padahal tidak. Selingkuh yang se-linear itu adalah paham yang mestinya kita tinjau kembali tanpa dianjurkan untuk mendekatinya. Maksud saya, barangkali kita bisa mempelajari maknanya lebih dalam sehingga menghindari sesuatu yang memungkinkan kita untuk melakukannya. Menurut KBBI edisi V, selingkuh berarti suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong;. Segala perbuatan yang suka menyeleweng, suka menggelapkan uang (korup) juga termasuk pengertian selingkuh. Jadi saudara-saudara, barangkali semua kepura-puraan dan kecurangan yang kita lakukan selama ini bisa dikatakan sebagai perselingkuhan. Entah itu menyembunyikan remot televisi, meminta tambahan kouta internet padahal masih banyak, atau merusak perabotan rumah lalu menuduh saudara sendiri.
Ihwal perselingkuhan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang purba tapi tak mati-matinya melawan arus dan perkembangan manusia. Ada begitu banyak yang dapat diberantas oleh teknologi tapi tidak dengan selingkuh. Sebab selingkuh adalah sisi buruk dari kecerdasan manusia dalam menemukan strategi ketika terbentur pada usaha dan tuntunan hidup sebagai makhluk yang tak pernah puas. Jangan-jangan perselingkuhan inilah yang menjadi andil banyaknya tindakan kriminal.
Di masa seperti sekarang, ketika COVID-19 masih hangat-hangatnya dibicarakan, terhitung begitu banyak kecurangan dan perselingkuhan yang dilaporkan media cetak maupun daring. Terutama ketika anda memang sengaja menuliskan ‘perselingkuhan yang terjadi saat pandemi’ atau ‘kecurangan di tengah COVID-19’ di kolom pencarian internet. Jika jaringan anda baik, maka akan muncul beberapa artikel dari berbagai portal berita yang memberikan anda nama-nama kasus. Mulai dari kasus yang bertalian dengan politik, sosial budaya, pendidikan, hingga kemanusiaan. Hal ini membuktikan bahwa indikasi dari perselingkuhan sudah mewabah ke seluruh aspek kehidupan kita, saudara-saudara. Yaps, serakus COVID-19.
Tapi masalah kita tak sampai disitu. Justru akan lebih mengkhawatirkan jika para pelaku selingkuh di zaman ini adalah orang tua atau pihak yang memiliki kekuasaan, tapi luput dari perhatian. Kedua pelaku ini adalah kalangan yang cukup berpengaruh dalam berbuat. Dari orang tua ke anaknya. Dari pemerintah ke masyarakatnya.
Padahal tujuan Bapak presiden mengajak kita berdamai dengan COVID-19, tak lain sebagai upaya penyesuaian diri agar masyarakat tetap produktif meski di tengah kondisi seperti ini. Ajakan berdamai dengan COVID-19 kemudian diangkat dalam sebuah istilah yang dikenal dengan new normal. Di mana tatanan kehidupan baru dilakukan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Intinya, untuk menghadapi wabah corona yang masih ogah tuk ‘cuci tangan’ (baca: tidak ikut campur) dari kehidupan, maka masyarakatlah yang harus rajin mencuci tangan untuk menghindarkan diri dari penyebaran virus.
Lantas, apa jadinya bila kebijakan yang dibuat sama sekali tak memberantas perselingkuhan dan kecurangan yang terjadi di tengah pandemi?
Sebut saja pelajar yang melakukan ujian di rumahnya masing-masing. Sementara ujian dilaksanakan bukan via panggilan video tapi teks di grup media sosial maupun aplikasi. Bagaimana bisa pengajar dapat meyakini bahwa lembar jawaban yang dikirimkan peserta didiknya murni hasil kerja siswa itu sendiri? Bukankah siswa cenderung punya niat kalasi dalam menghadapi ujian?. Toh, di kelas saja sering ada peluang menyontek, apalagi kalau di rumah. Ditambah lagi jika tak ada kerja sama antara pengajar dengan orang tua tapi malah kerja sama antara pelajar dengan orang tuanya. Fix, bapak/ibu yang melakukan hal ini demi tingginya nilai akademik anak, tentu adalah salah satu kasus perselingkuhan yang marak. Persekongkolan semacam ini, sama saja membiarkan anak mengkhianati gurunya.
Kasus kedua yaitu perihal menjalankan tugas dalam misi kemanusiaan. Tak sekali dua kali bantuan sosial yang ditujukan untuk tenaga medis, pasien, maupun masyarakat tak tepat sasaran. Terkadang kita melihat bahwa ada segelintir orang mampu yang juga punya niat kalasi di tengah-tengah keadaan yang darurat. Tabiat keserakahan seringkali membawa mereka menerima sesuatu yang bukan hak. Bantuan berupa uang maupun sembako semestinya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, lanjut usia, sakit, atau siapapun yang lebih membutuhkan. Mungkin saudara-saudara pernah melihat betapa hebohnya tempat perbelanjaan yang isinya diborong oleh pembeli. Barang-barang seperti masker, antiseptik, hingga kebutuhan pokok diserbu pelanggan padahal masih banyak orang yang membutuhkannya tapi kehabisan.
Kasus ketiga, di antara beberapa hal yang menyentuh sosial budaya. Kasus yang cukup menggeramkan adalah diskriminasi. Dalam konsep perilaku yang menyimpang, perselingkuhan dan diskriminasi sama saja pahitnya. Penyimpangan semacam ini tak hanya di alami oleh orang-orang yang berbeda karena warna kulit (rasisme), tapi juga pasien maupun tenaga medis yang berjuang melawan COVID-19. Seseorang yang pernah atau masih dalam perawatan maupun pasien yang meninggal dan hendak dikebumikan acapkali diperlakukan dengan tidak manusiawi. Mereka yang dikucilkan dari masyarakat bahkan jasad korban yang ditangani oleh tenaga medis ada yang ditolak. Lebih-lebih jika jasad korban tersebut ada yang dicuri oleh keluarga karena tak ingin mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Terlepas dari soal si miskin dan si kaya atau persoalan bisnis, tetap saja ini sangat memprihatinkan.
Perselingkuhan semacam ini semoga tak menjadi gaya hidup yang dapat mengubah kita menjadi tak beradab. Perselingkuhan dalam rumah tangga mungkin bisa di atasi dengan perceraian. Tapi perselingkuhan yang sudah menjalar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah bisa di atasi dengan perceraian juga? Sementara makna semboyan negara kita adalah berbeda-beda tapi tetap satu.
Mampukah kita memerangi pandemi dengan perdamaian, jika detik ini kita asyik berselingkuh ria dengan kematian dan hidup. Semua memahami kefanaan tapi di hadapan diri sendiri hidup masih tentang memperoleh tempat, kenyamanan, dan kepemilikan yang sebanyak-banyaknya. Andai COVID-19 bisa ngomong melihat kita berselingkuh apakah kita akan dituntut melanggar janji karena telah setuju untuk berdamai dengannya? Lalu setelah dijatuhi ancaman, virus, dan masa depan yang tak pasti, kita sebagai pelaku tetap merasa baik-baik saja setelah meminta maaf? Wah, jangan sampai!
Lihat, COVID-19 masih gencar menumbangkan saudara-saudara kita yang lain. Apa jadinya bila potret seperti ini tak juga berujung? Krisis pangan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan adalah jari-jari yang terancam dan rawan ditembus pengaruh wabah dan perselingkuhan itu. Apakah kita mampu membahagiakan diri dalam cangkang pengkhianatan? Celakanya, beberapa orang dari kita mulai serakus Corona. Tapi serakus-rakusnya Corona, ia sama sekali tak sebucin beberapa orang dari kita. Sad, but True.
Nb:
kalasi : curang, culas
Posting Komentar untuk "Berdamai Dengan COVID-19 Tapi Berselingkuh di Belakangnya"