Cerpen yang Lebih Sepi dari Sunyi
Jika takdir bisa mempermainkan manusia, maka manusia bisa mengikuti permainan itu. Sudah sebulan Anya setia menemani Ibunya yang terbaring di rumah sakit karena kecelakaan yang dialaminya. Tiap hari selalu depenuhi harapan, berharap tidur panjang Ibunya akan segera berakhir. Anya hanya tinggal bersama Ibunya semenjak Ayahnya memutuskan untuk meninggalkannya dan Ibunya.
“Ibu, bangun dong. Anya disini sendiri, Bu”
“Ibu kok ingkar janji sih, katanya Ibu nggak bakal biarin Anya sendiri.”
“Apa mimpi Ibu terlalu indah ya sampai lupa bangun. Ayo, Bu bangun ceritain mimpi Ibu ke Anya” ucap Anya bermonolog.
Baca Juga: Setakar Patah Hati
Hari-hari Anya selalu mengajak Ibunya berbicara meskipun tak ada jawaban dari yang dia ajak bicara. Lelah? Sudah pasti. Anya bukanlah wanita sehebat Ibunya. Anya hanyalah gadis remaja yang membutuhkan sandaran jika sedang rapuh dan membutuhkan semangat jika sedang jatuh. Hidup tanpa ibu memang tidaklah mudah.
“tenang saja, Ibumu pasti kuat Nak” Ucap dokter Faldi mendekati Anya sambil mengelus puncak kepalanya. Entah sejak kapan dokter Faldi masuk ke ruangan itu sehingga Anya tidak menyadarin keberadaannya.
Anya tersenyum melihat dokter Faldi “Sejak kapan Om disini?” tanyanya bingung.
Dokter Faldi tersenyum kemudian mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa Mira, ibu Anya “Cukup untuk mendengar curhatanmu pada Mira” ucapnya. Anya hanya menganggukkan kepalanya kemudian melihat wajah Mira, wajah tirus dan pucat pasi. Aku merindukan senyummu Ibu, batin Anya
“Ibumu baik-baik saja, Nya. Pulanglah disini ada perawat yang menjaga Ibumu. Kamu juga harus istirahat” kata Om Faldi. Dokter Faldi adalah dokter yang menangani Ibunya sekaligus sahabat Ibunya, Mira.
Bulan sudah berganti dan Mira tidak menunjukkan tanda-tanda untuk membuka matanya. Anya semakin sedih, setiap harinya tidak lagi dipenuhi harapan melainkan tangisan. Pagi ini Anya bergegas ke rumah sakit karena mendapat kabar bahwa ibunya kritis. Ribuan doa dia panjatkan agar Ibunya baik-baik saja. Sesampainya di rumah sakit, Anya berlari sekencang mungkin di lorong rumah sakit tanpa memperdulikan orang-orang yang marah kepadanya karena ia tabrak. Tujuannya hanya ruang rawat ibunya. Di depan ruangan Ibunya, Anya melihat dokter Faldi keluar bersama suster. “Om!” teriak Anya lalu mendekat ke arah dokter Faldi.
“Gimana keadaan Ibu? Ibu baik-baik saja kan, Om?” tanya Anya
“Ibu udah ngelewatin masa kritisnya kan, Om?" desak sambil mengguncang tubuh Faldi. Air mata Anya sedari tadi menetes, Anya sangat takut karena dokter Faldi tetap saja diam tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
“Jangan buat aku takut, Om. Aku takut kalo Om hanya diam” Anya semakin terisak.
Dokter Faldi kemudian menarik Anya ke pelukannya berharap dia bisa memberikan kekuatan pada Anya untuk mendengar kabar buruk yang ia akan sampaikan.
“Om, Ibu nggak papa kan?” tanya Anya lirih yang masih dipelukan dokter Faldi.
Dokter Faldi memegang kedua bahu Anya dan menatapnya dengan sedih. Dalam waktu dua bulan Anya harus kehilangan orang tuanya. “kamu harus janji sama Om untuk tetap tenang setelah mendengar penjelasan Om” katanya pada Anya yang langsung diiyakan Anya.
Dokter Faldi meceritakan bagaimana keadaan Mira yang hanya berada di ujung tanduk. Hidup Mira bergantung pada alat-alat medis yang menancap di tubuhnya, jika dilepas maka sudah pasti Mira akan meninggal dan jika tidak maka sama saja menyiksa Mira. Dokter Faldi menghela nafasnya berat “Keputusan ada di tangan kamu, Nak. Kamu membiarkan Ibumu pergi dengan tenang atau mempertahankan Ibumu dengan kesakitan” ucap dokter Faldi. Bibir Anya terasa kelu mendengar penuturan dokter Faldi. Apa dia akan membiarkan Ibunya pergi, tapi bagaimana kehidupan dia tanpa penyemangat dari Ibunya.
“Ibu lebih suka Anya jadi wanita karier yang selalu sibuk atau wanita yang nggak kerjasama sekali tapi punya waktu banyak buat keluarga?” tanya Anya sambil tidur di pangkuan Mira.
Mira mengelus puncak rambut Anya dengan penuh kelembutan “saat umurmu lima tahun kamu ingat ngga waktu Ibu mau beliin kamu boneka baru karena boneka beruang kamu jatuh ke got tapi kamu malah menangis dan minta Ibu untuk mengambilnya di got, padahal waktu itu Ibu udah pake baju cantik untuk menghadiri acara teman Ibu. Sekarang Ibu tanya, kenapa waktu itu kamu ngga mau boneka yang lain dan memilih boneka beruangmu? Tanya balik Mira
“Karena boneka itu hadiah dari ayah saat aku juara kelas” jawab Anya
“Ada alasan lain?”
Anya bangun dari tidurnya kemudian duduk menghadap ke Mira “Karena boneka itu juga aku merasa dekat dengan Ayah, Bu. Ibu tau sendiri Ayah jarang bermain denganku. Ayah selalu sibuk dengan bisnisnya. Ya walau itu semua dilakukan karena Anya. Tapi Anya ngga pernah minta Ayah selalu lembur, Anya cuman pengen kalo weekend Anya bermain boneka sama Ayah. Anya butuh waktu Ayah bukan uang Ayah” cerita Anya panjang lebar.
Mira tersenyum sambil menggenggam kedua tangan Anya “Sekarang Ibu ngga nuntut kamu untuk jadi wanita seperti apa. Ibu mendukung apapun keputusanmu.”
“Makasih, Bu. Ibu memang wanita hebat” Anya memeluk Mira dengan erat.
Anya memejamkan matanya sejenak, semoga keputusannya tidak akan membuatnya menyesal. “Baik Om, aku memilih opsi pertama” ucapnya dengan suara sangat lirih namun cukup untuk didengar dokter Faldi. Maafin Anya, Bu batin Anya lalu memasuki ruangan Ibunya untuk melihat wajah yang akan dirindukannya hari ini dan esok.
Hari ini adalah hari pemakaman Mira. Para pelayat sudah pergi dan kini tinggal Anya sendiri, Om Faldi sudah mengajaknya pulang namun Anya menolak dengan alasan masih rindu pada Ibunya. Anya tak habis pikir dengan Ayahnya, apa sebegitu sibuknya sehingga pemakaman istrinya pun tak sempat dihadiri, benar-benar gila kerja. Anya memandang nisan bertuliskan Mira Revania. “Ibu tau, apa yang lebih sepi dari sunyi?” tanya Anya seoalah-olah dia sedang bicara dengan Ibunya. “Yang lebih sepi dari sunyi itu ketika Anya hidup di dunia yang banyak orang tapi Anya merasa sendiri, Bu” tangis Anya pecah.
Posting Komentar untuk "Cerpen yang Lebih Sepi dari Sunyi"