U2FsdGVkX1+25AyyCo8UPsLK1A8YBpiAtAtE4voJoZU6v2phc92s7B5BeG4irtrTwvQijqbnotwWq2TT6FmYzQ==
Setakar Patah Hati
Gambar By Pixabay.com

Deru angin malam menerpa kabel yang bergelantungan di langit-langit kamar. Membuat terkesiap saja, kala hadirnya nakal  mendalangi dedaunan pohon tua dekat jendela. Kemudian disusul pula oleh teriakan massa para hujan yang merajam atap rumah bertubi-tubi, seolah lepas memberi isyarat tuk kemarau panjang yang lupa diri. Sabda riuh katak-katak melarat di luar sana juga seolah memohon perlindungan malam di tengah pekat yang membekukan. Aku mulai memejamkan mata, mengingat kelam yang membekas pada kepala yang masih sudi bertengger pada tubuhku. Setelah kutangkap bayangan itu, aku mendapati diri saat diusia remaja. Seakan semuanya kembali dari 7 yang lalu.

*

Aku mencoba naik ke balkon seraya menyusuri tapak-tapak dingin yang digenggam malam. Lantas kulempar pandangan dihamparan bingar suasana kota di malam minggu. Sementara angin menerpaku sekenanya tanpa ujar, membuat syal hitamku terkibas-kibas tak karuan. Aku mulai mengerjapkan bahu dan memasukkan kedua tanganku kedalam saku jaket. Nyaris mulut ini berseru saat kupalingkan tatapan kearah 90 derajat, terdapat gadis yang terisak di seberang sana.

Kucoba berteriak dan melambaikan tangan kearahnya, tapi dia tidak menanggapi sama sekali. Lalu aku berteriak dan mencoba untuk lebih kencang kali ini, hingga pada akhirnya dia berbalik dengan sorot mata yang tajam. Keningku berkerut seketika melihat mimiknya yang begitu sangar.

Pandanganku lalu beralih pada sesuat digenggamannya yang lalu dilemparkan hingga jatuh tepat di depan pagarnya, kemudian berpaling dari tempatnya. Aku enggan bergeming, tapi sungguh benar-benar penasaran.

Baca Juga : Sisa Hunian Rasa

Kuhela nafasku perlahan dan melirik amplop itu dari atas. Semakin penasaran saja ku dibuatnya. Dasar gadis sombong, cengeng,tetangga cuek, misterius lagi, untung gak jelek. Gumamku dalam hati, dan bergegas untuk menuruti keingintahuanku perihal gadis diseberang jalan apartemen.

Diam-diam kupunguti juga amplop manis itu, tak peduli apa yang akan dikatakan gadis itu tentang perilakuku. Barangkali juga dia sedang mengintipku saat mengutip surat yang dibuangnya.

Lekas kubuka amplop itu setelah tiba di kamarku. Ternyata isinya sebuah surat yang dilukis dari tinta merah muda.

" Hamida,

Aku tak Peduli betapapun riuh sorak rindu membawamu  jauh tuk  ku jangkau. Aku bahkan tak ingin tahu seberapa berat perasaan gundah membuatmu ragu. Yang ingin aku pertanyakan, kuatkah kamu memberiku senyum saat aku menjadi jahat?

Ya. Aku memilih untuk berhenti menagih kabarmu, aku ingin berhenti dari segala ikatan yang membuatku semakin takut untuk menyakiti. Aku ingin berhenti membuang waktu dengan imingan yang tampaknya begitu jauh tuk ku raih.

Aku akan menikah dengan putri atasanku, dua minggu yang akan datang. Keadaanku begitu sulit, tak ada jalan yang dapat kutempuh untuk mengelak dari ketidakberdayaanku. Jadi kumohon, jangan menunggu lagi, aku takkan pulang.

Genta"

Sesaat itu pula, aku mulai mengetahui bahwa nama gadis itu adalah Hamida. Kekasihnya Genta, tak jadi melamarnya sebab kesulitan yang dihadapinya. Hatiku jadi  miris memanjat tulisan itu hingga habis. Gadis yang malang, gumamku.

*

Setelah Genta mengirim surat itu dan mengecewakannya beberapa waktu lalu, aku hadir dan berusaha menjadi temannya meski sikapnya begitu beku. Setiap hari aku menemaninya dengan lelucon yang selalu sibuk kucari agar dia bisa bahagia. Nyaris aku tak pernah melihat senyumnya sepanjang kami berteman. Yang kulihat hanyalah kebiruan yang bertelaga di kedua tatap matanya. Gadis itu yatim, dia masih belia namun kerap dirundung duka yang menguras habis elok parasnya. Kerap dia meratap hingga wajahnya begitu pucat dan matanya jadi terlihat aneh. Pemuda-pemuda yang semula mengincarnya kian menduga, ketidakwarasannya. Semua kerabat keluarganya perlahan menjauh ditelan reputasi, sementara teman-teman sekolah dan sepupunya enggan bersimpati.

Aku semakin iba kepadanya. Hingga pada suatu hari Hamida mengatakan kepadaku bahwa dia sangat mencintai Genta. Padahal saat itu aku ingin menjadikannya kekasihku. Aku lantas mencoba memahaminya dengan segenap maklumku. Hal terpendam mengenai kepayahanku, kuluapkan kedalam puisi-puisi spontan pengganti amarah. Entah setelahnya akan robek, terinjak sepatu, diterbangkan angin, atau bahkan dibaca oleh seseorang. Aku hanya ingin keluar dari keresahan, itu saja.

Entahlah, sejak mengenal gadis itu, aku seperti memiliki sebuah tanggung jawab. Aku merasa, terlalu melindunginya, terlalu berharap, terlalu lemah, dan terlalu bahagia. Hamida sangat cepat memberiku pengaruh-pengaruh besar yang lambat laun menyesakkan dada bila ditahan. Aku pernah sekali membawanya ke rumahku untuk sekedar jalan dan bicara. Dan membaca sejumlah puisiku yang berserakan di ruang kerja.

Diluar dugaanku, nyatanya dia menyukai puisi akrostik yang kutulis tepat di hari ulang tahunnya , tulisan itu adalah puisi yang pertama kali dibacanya dengan selancip senyum yang bagiku sangat manis.

Hilang...
Aku jadi kisruh menelisik makna
Maghlihai itu kian pudar diatas kabut
Indahmu lekas menua dipertapaan laju
Dan
Aku runtuh menggenggam nama

Tulisan pendek itu menjadi saksi pembaharuan rautnya. Seolah Hamida begitu paham dengan larik yang kusiratkan. Kesaksianku terhadapnya dan tanah kelahiran membuatku segenap jatuh cinta kepada keduanya.

*

Aku mulai membuka mata kembali, seraya melirik foto gadis manis yang terparas di meja. Kuraih bingkai itu dengan penuh kehangatan yang menggebu di dalam hati. Dia Hamida, Calon istriku.

Sore itu, kami berada di lokasi foto untuk undangan acara pernikahan yang semakin menjelang. Suasana tepi laut dan pasir putih menjadi teduhan yang elok, ditambah dengan suara tarian nyiur yang diterpa angin membuat pantai itu jadi tak suri. Semuanya terlihat sebagai kemasan suka cita sebelum seseorang berkacamata datang lalu berseru memanggil Hamida. Dia Genta,mantannya. Entah darimana lelaki itu bangkit setelah beberapa lama menimbun Hamida dalam kesendirian. Bukankah dia sudah menikah dengan gadis yang terpandang ?.

Melihat Genta, raut Hamida berubah. Genggamanku dilepasnya dengan segenap langkah untuk berpaling dari dekapanku menuju Lelaki itu. Jelas di depan mataku, Hamida memeluk Genta seolah-olah mencintainya kembali. Setengah tak percaya aku menyadari diri jadi tak teranggap, bahkan setelah ku memanggilnya dia enggan berbalik kearahku. Ada sesuatu yang mereka bicarakan dan Genta melirikku dengan sorot mata yang begitu sinis. Ada sedikit sakit hati, kacau, kecewa, jika benar Hamida kembali akan kepadanya. Aku cemas, jika lelaki itu kembali menyakiti gadis yang berusaha kubahagiakan. Aku mengepal kedua tangan dan menghela nafas perlahan, berjalan menjauh dari dua insan yang saling melepas rindu itu. Dia memang calon istriku, namun dia punya rasa yang tak sekedar dibuat-buat untuk Genta.

Dunia seolah jauh mengabur dari keakuanku. Perlahan gelegar petir dan pecahan hujan timbul mengguyur keras kepiluan ini. Gagal menikah bukanlah letak kemalanganku yang sesungguhnya, melainkan karena aku yang tak kuasa meyakinkannya sejak lama. Menjadi diriku, mungkin lebih baik pergi dan belajar lebih pantas. Paling tidak setakar  patah hati ini cukup terimbangi dengan kenangan yang tak akan kapok kuabadikan di puisi-puisiku besok.

Ana
Muliana, biasa di panggil ana, mimaf atau cumi. Gadis kelahiran Wajo ini, kerap mempublikasikan karyanya di blog maupun di akun ig : @gemaa.27 Fb : muliana ana
Loading...