Cerpen Buah jatuh, jauh dari pohonnya.
"Remmangku bohong, nyatanya polisi takkan berani memotong tangan-tangan pencuri.
Aku melihat, pencuri itu masih punya dua tangan. Ia tidak dipukuli. Ia dirangkul oleh pak polisi dan dimasukkan ke dalam mobil. Mau diapakan ia? aku heran. Tapi kata temanku, Si Herman, pencuri itu mau pindah rumah, polisi kasi dia tempat, makan dan pelajaran. "
--
Aku Haris. Malam itu, aku nginap di rumahnya Herman. Rumah Herman besaar sekali. Tak seperti rumahku yang ruang makan, ruang tamu, dan tempat tidurnya digabung. Di rumahnya, Herman punya kamar sendiri dan toilet sendiri, tombol-tombol ajaib untuk menyalakan lampu, air, TV dan kipas angin bertebaran di dinding rumahnya. Di sana, tak ada nyamuk, yang ada hanya suara lagu dangdut dan lagu Bugis modern.
Malam itu, aku terpaksa nginap di rumah Herman. Remmangku dan Ibuku ribut seperti anak kecil. Aku takut. Ibuku menangis, ayahku itu pusing dan ikut membentakku, jadi aku lari saja ke rumah Herman. Toh Ibu dan Remmangku juga tidak mencariku, sampai aku ngantuk dan Herman tidak berhenti bicara.
"Haris, kalo Remmangmu masih marah sama ibumu, tidak usah pulang nah"
Aku menggeleng."Tidak boleh. Aku bisa dicubit"
"Kalo kamu dicubit atau dipukul, nanti aku lapor sama polisi," kata Si Herman
"Polisi itu bahaya. Mereka suka bawa pistol, kalau Remmangku dan ibuku dibunuh, bagaimana? Aku tidak bisa sekolah. Remmangku bilang, polisi itu bisa potong tangan orang yang mencuri. Huaahhhhh"
"Tapi orang tuamu kan tidak mencuri. Mereka tidak akan dibunuh, haaaaahhh"
Aku mengantuk, temanku juga. Ia masih mau bicara tapi malam sudah sangat larut.
"Terserahmulah, ini sarungmu" kata Si Herman menyerahkan sarung dan mematikan lampunya.
*
"Maling!!!!"
"Maling!!!!"
Rumah itu gaduh sekali. Teriakan Pung Rate, Ibu Herman keras sekali, membuat aku panik. Aku takut. Aku tidak melihat temanku Herman. Kamarnya sudah terang, sementara di depan pintu ada meja, kursi, dan kardus-kardus mainan Herman. Aku jadi tidak bisa keluar. "Herman!!"
"Maling!!!"
Pung Rate masih teriak. Herman masih hilang. Di luar mulai terdengar suara warga yang ikut-ikutan ribut. Tidak teriak maling, tapi malah bertanya ke mana maling itu pergi, apa saja yang dicuri, dan banyak sekali pertanyaannya. Aku bingung mau teriak tolong atau mengatakan bahwa Herman juga ikut hilang.
"Woyyy!"
Itu suara Herman. Aku berbalik, Si Gendut itu ternyata sembunyi di balik tirai.
"Kenapa sembunyi? rumah kamu kemalingan"
"Aku tahu, makanya aku dorong meja sama kursi ku ke sana, supaya maling itu tidak bisa masuk. Aku tidak bisa lari."
"Tapi Ibumu, bapakmu? mereka panik"
"Mereka sudah besar.Mereka panik karena barangnya dicuri. Mereka juga tidak cari aku kan? Banyak warga yang tolong mereka. Aku juga sudah besar"
Aku diam. Aku jadi ingat Remmangku dan Ibu. Bagaimana kalau maling itu sembunyi di rumahku? Herman menarikku untuk ikut sembunyi, teriakan Pung Rate sudah tak ada. Suara pak lurahlah yang kini jelas sekali. Menelpon polisi.
*
Setelah itu, aku dan Herman tidak bisa tidur sampai pagi. Pung rate dan paman tidak mencarinya. Mereka berkali-kali mengeluh dan mengumpat si pencuri yang ditangkap oleh polisi. Aku melihat semuanya di jendela dengan Herman, para warga merekam penangkapan Si maling. Aku mulai yakin, sebentar lagi polisi akan mengeluarkan pisaunya dan memotong tangan si maling-- bertopeng itu, di hadapan orang banyak. Barang-barang yang dicuri sudah ditunjukkan, orang tua Herman ada di sana. Aku mengawasi polisi yang mengapit maling itu dan membayangkan kata-kata Remmangku tentang hukuman bagi pencuri.
Baca Juga: Apakah Vanaja Lebih malang atau Lebih Beruntung dari Saya?Ternyata, Remmangku bohong, nyatanya polisi tidak berani memotong tangan-tangan pencuri.
Aku melihat, pencuri itu masih punya dua tangan. Ia tidak dipukuli. Ia dirangkul oleh pak polisi dan dimasukkan ke dalam mobil. Mau diapakan ia? aku heran. Tapi kata temanku, Si Herman, pencuri itu mau pindah rumah, polisi kasi dia tempat, makan dan pelajaran.
Pencuri itu pergi dengan polisi. Pung Rate dan paman akhirnya mencari Herman, anaknya. Mereka diikuti warga ke dalam rumah. Menggedor-gedor pintu. Menyeretku keluar dan mengatakan sumpah serapah.
"Suruh temanmu pergi, Herman! Dia bangsat, dia anak maling!!"
Aku diam, aku tidak percaya, buruk sekali disebut anak maling. Remmangku, apakah dia benar-benar pencurinya? Aku tidak tahu. Tapi aku ingin cari ibu. Menanyakan padanya. Aku ingin cari Remmangku, dan mengatakan bahwa ia salah menilai polisi.
Posting Komentar untuk "Cerpen Buah jatuh, jauh dari pohonnya."