BLACK (2005) : Saat datang pada Tuhan, kita semua buta, tapi aku telah menyentuh Tuhan, aku memanggilnya Tee..Teach.
Sekali lagi, saya merasa terbelakang. Film ini rasanya menelanjangi kedua mata saya, saya menyentuhkannya dengan cahaya nyaris setiap waktu, tapi saya tidak yakin cahaya yang sejati bernama pengetahuan menyentuhnya setiap kali saya melihat. Sebelumnya, saya punya banyak alasan untuk dijelaskan, mengapa menyukai warna hitam. Namun drama yang bertajuk Black ini, memberikan sisi lain dari esensi hitam dan kegelapan. Film yang disutradarai oleh Sanjay Leela Bhansali ini memberikan sebuah pandangan bahwa tidak semuanya harus bermula pada A, B, C, D, E dan seterusnya, melainkan BLACK: B,L,A,C,K.
Black pertama kali tayang di Festival Film Cannes 2005, pernah juga ditayangkan dalam Festival Film Internasional India dan Festival Film Casablanca. Film ini kemudian meraih beberapa penghargaan (salah satunya penghargaan Filmfare) dan tercatat sebagai salah satu film terbaik di seluruh dunia pada tahun yang sama. Bahkan pernah dimasukkan sebagai salah satu diantara 25 Film Bollywood yang Harus Ditonton (25 Must See Bollywood Movies).
Baca Juga: Misteri Air Mata Jerapah(2006)
Film drama ini dibintangi oleh Amitabh Bachchan dan Rani Mukerji. Amitabh Bachchan memerankan sosok guru yang menderita penyakit Alzheimer. Sementara Rani Mukerji memerankan tokoh Michelle yang sebelumnya diperankan oleh Ayesha Kapur. Tokoh Michelle dalam kisah ini terlahir dengan keadaan fisik yang buta dan tuli. Keadaan ini kerap membuat ia memberontak dan menyakiti dirinya saat kecil.
Apa yang saya dapatkan setelah menonton Black?
Saya mendapatkan banyak tanda: tanda tanya, tanda seru, tanda titik yang belum pernah saya dapatkan di tontonan atau di buku manapun. Jika anda berpikir bahwa orang yang berkebutuhan khusus dan yang diberi julukan ‘cacat’ seperti Michelle hanya akan mengalami diskriminasi hingga keterbelakangan, tolong, berpikirlah sekali lagi. Black mencoba membantu kita untuk melihat kebalikannya, saat mereka jusru menempatkan rasa iri di dalam diri orang normal terhadap orang yang seperti Michelle. Keadaan inilah yang dirasakan oleh tokoh yang bernama Sara, saudara Michelle sendiri.
Selain itu, dalam film ini kita akan melihat bagaimana sisi lain dari pendidikan yang bekerja disingkap. Bukan sekadar memberi nama, tapi juga memberikan harapan. Pendidikan yang mungkin biasanya kita jumpai ibarat upacara yang memberikan jendela, tapi disini, murid akan dibiarkan untuk membuat jendela untuk diri mereka sendiri. Ada ungkapan yang sering kita dapatkan bahwa “Tidak ada kata terlambat untuk belajar” yahh hal inilah yang dibuktikan Michelle. Tak peduli ia harus menunggu hingga 40 tahun untuk memakai jubah dan toga untuk pertama kalinya, itupun mesti pertama kali di hadapan sang guru. Hal ini membuat saya malu dan membuka perlahan-lahan apa yang telah lama saya pikirkan dan mungkin teman-teman saya inginkan: lekas sarjana dan lulus, memakai toga dan bangga, bahkan setelah melupakan nama-nama guru yang melihat kebodohan kita sebelumnya. Tanda seru inilah yang saya maksudkan.
Melihat Guru dan Murid
Beberapa adegan akan menunjukkan metode yang digunakan oleh tokoh Pak Debraj Sahai selama mengajar murid semata wayangnya Michelle. Pertama kali, ia tak tega melihat seorang anak diberi lonceng/kaleng layaknya binatang. Tapi kemudian, saat ia mulai mengajari anak itu, Ia tak segan untuk mendorong, berusaha melekatkan bahasa isyarat di tangan Michelle, bahkan membentaknya—semata-mata agar Michelle bisa melakukan sesuatu. Meskipun beberapa kali terdengar kalimat retoris dari Nyonya McNally—ibu Michelle: Hentikan! Seperti itukah cara mengajar?
Ini mengingatkan saya pada beberapa kasus pembelaan orang tua terhadap anaknya yang berusaha dibina dan dididik oleh guru, namun justru dibesar-besarkan dan disebut sebagai tindakan kriminal. Apa yang kemudian tergambar dari wajah Pak Sahai adalah harapan bahwa muridnya akan menjadi lebih baik dan mampu berubah, sekalipun ia berkali-kali diusir dan dihina oleh orang tua sang murid, terutama Paul McNally—ayah Michelle. Tapi, apakah sang guru meninggalkannya? Tidak.
Pak Sahai sampai memohon-mohon untuk tetap diizinkan membantu Michelle menggunakan berbagai cara agar anak tersebut mampu mengenali segala sesuatu dengan sentuhan, bahasa isyarat di tangan, dan gerakan bibir. Hingga pada akhirnya, gadis tersebut mengalami kemajuan yang sempat disebut sebagai hal yang mustahil untuk dilakukan. Adegan inilah yang membuka mata kita, bahwasanya baik guru maupun murid dalam proses belajar mesti memiliki kesabaran yang sama, semangat yang sama, usaha yang sama sehingga tak ada yang merasa gagal pada akhirnya.
Guru memberikan semuanya, tapi dia tak meminta semaunya
Kita sangat familiar dengan ungkapan ini: guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ini cukup disoroti pada menit-menit setelah saudara Michelle melangsungkan pernikahan. Michelle merasa iri karena ia berpikir tidak akan merasakan cinta seorang lelaki. Namun saat Pak Sahai berusaha memotivasinya, gadis itu menuturkan satu permintaan yang berat untuk dilakukan oleh gurunya sendiri yaitu menciumnya.
Meski berkali-kali menolak untuk menuruti permintaan muridnya, Pak Sahai dengan terpaksa melakukannya, seperti yang Michelle katakan pada pengakuannya: “Dalam memberiku martabat sebagai seorang wanita, kau kehilangan martabat sebagai guru..”
Hingga dalam rasa bersalah Pak Sahai pun pergi dan bertemu beberapa tahun kemudian, melupakan semuanya sebelum muridnya datang dan mengenakan pakaian sarjana.
Kisah yang diangkat dalam film ini sebetulnya mirip dengan apa yang ada di film Hellen Keller, perbedaannya hanya terletak pada tokoh guru laki-laki dan guru perempuan. Tapi perbedaan apapun selain itu, kedua film ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketidaksetaraan gender, melainkan peran guru, peran bahasa, serta peran kita yang setiap hari sebagai murid. Kita semua adalah murid untuk semua orang dan semua tempat, bukan?
Posting Komentar untuk "BLACK (2005) : Saat datang pada Tuhan, kita semua buta, tapi aku telah menyentuh Tuhan, aku memanggilnya Tee..Teach."